Senin, 15 September 2008

Malformasi Anorectal

MALFORMASI ANORECTAL

1.Anatomi dan Fisiologi Rektum & Anus
Rectum dan anus merupakan susunan saluran pencernaan yang paling akhir. Rectum terletak di bawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os sakrum dan os. Koksigis.
Sedangkan anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rectum dengan dunia luar (udara luar). Terletak di dasar pelvis, dindingnya diperkuat oleh 3 sfingter, yaitu:
Sfingter ani internus (sebelah atas), bekerja tidak menurut kehendak.
Sfingter levator ani, bekerja juga tidak menurut kehendak.
Sfingter ani eksternus (sebelah bawah), bekerja menurut kehendak.
(Syaifuddin, 1997)
Defekasi (buang air besar). Bila rectum bagian atas diregangkan oleh isinya, reseptor tekanan merangsang sensasi defekasi yang mendesak. Aksi defekasi dimulai secara voluntar: otot longitudinal rectum berkontraksi, kedua otot sfingter anal bagian dalam dan luar dan otot puborektal relaksasi; rectum memendek; dan isi tersebut ditekan oleh kontraksi anular dibantu oleh peningkatan tekanan abdomen.
Frekuensi defekasi sangat bervariasi, dari tiga kali sehari, sampai tiga kali seminggu, dan tergantung pada bagian terbesar kandungan makanan (“serat”, terutama selulosa). Selulosa dimetabolisis oleh bakteri usus menjadi metada dan gas lainnya yamg menimbulkan flatus menyertai, misalnya kacang-kacangan. Diare (> 200 gr feses / hari), bila bila berlebihan dapat mengakibatkan bahaya kehilangan air dan K, dan gangguan asam basa.
(Silbernagl, 2000)

Rectum dan anus merupakan lokasi dari penyakit-penyakit yang sering ditemukan pada manusia. Penyebab umum konstipasi adalah kegagalan pengosongan rectum saat terjadi peristaltic massa. Bila defekasi tidak sempurna, rectum relaksasi dan hasrat untuk defekasi hilang. Air tetap harus diabsorpsi dari massa feses, menyebabkan feses menjadi keras, sehingga defekasi selanjutnya menjadi lebih sukar. Akibat tekanan feses berlebihan menyebabkan kongesti vena hemoroidalis interna dan eksterna yang merupakan salah satu penyebab vena varikosa rectum. Inkontinensia feses dapat diakibatkan oleh kerusakan otot sfingter ani atau kerusakan medulla spinalis. Daerah anorektal sering merupakan tempat abses dan fistula. Kanker kolon dan rectum merupakan kanker saluran cerna yang sering terjadi. Malformasi anorektal adalah kondisi dimana tidak terdapat anus atau anus abnormal.
(Price, 1995)

2.Definisi Penyakit
Malformasi anorektal (anus imperforata) adalah malformasi kongenital di mana rectum tidak mempunyai lubang keluar. Anus tidak ada, abnormal atau ektopik. Kelainan anorektal umum pada laki-laki dan perempuan memperlihatkan hubungan kelainan anorektal rendah dan tinggi diantara usus, muskulus levator ani, kulit, uretra dan vagina.
(Wong, 2003)
Klasifikasi:
Klasifikasi pada anorektal menurut insidennya, antara lain:
a.Yang sering pada laki-laki
1.Fistula pirenium (kutaneus)
Adalah cacat paling sederhana pada kedua jenis kelamin. Penderita mempunyai lubang kecil terletak di perineum, sebelah anterior dari titik pusat, sfingter eksterna didekat skrotum pada pria / vulva pada perempuan.
2.Fistula rektrovesika
Pada penderita dengan fistula rektrovesika, rektum berhubungan dengan saluran kencing pada setinggi leher vesika urinaria.
3.Fistula rektrouretra
Pada kasus fistula rektrouretra, rektum berhubungan dengan bagian bawah uretra (uretra bulbar) atau bagian atas uretra (uretra prostat).
4.Anus imperforate tanpa vistula
Mempunyai karakteristik sama pada kedua jenis kelamin
Rectum tertutup sama sekali dan biasanya ditemukan kira-kira 2 cm di atas kulit perineum
5.Atresium rektum
Adalah yang jarang terjadi, hanya 1% dari anomaly anorektum
Cacat ini mempunyai kesamaan karakteristik padakedua jenis kelamin. Tanda yang unik pada cacat ini adalah bahwa penderita mempunyai kanal anul & anus yang normal.
Ada obstruksi sekitar 2 cm di atas batas kulit
b.Yang sering pada permpuan
1.Kloaka persisten
Pada kasus kloaka persisten ini , rectum, vagina dan saluran kencing bertemu dalam satu saluran bersama. Perineum mempunyai satu lubang yang terletak sedikit di belakang klitoris.
2.Fistula vestibular
Adalah cacat yang sering ditemukan pada perempuan. Rectum bermuara ke dalam vestibula kelamin perempuan sedikit diluar salaput dara.

Klasifikasi malformasi anorektal berdasarkan atas hubungan rektum dengan otot puborektal :
a.Kelainan letak rendah (low anomalies)
Pada letak ini rektum menyambung pada otot puborektal,spinter interna dan eksterna fungsi berkembang normal, tidak ada hubungan dengan traktus genitourinaria.
b.Kelainan letak sedang (intermedieat anomalies)
Rektum terletak dibawah otot puborektal, terdapat cekungan anus, dan posisi spinter eksterna normal.
c.Kelainan letak tinggi (high anomalies)
Akhir rektum terletak diatas otot puborektal, tidak terdapat spinter interna dan terdapat hubungan dengan genitourinaria pada laki-laki fistula rektouretra, pada perempuan rektovaginal.
Malformasi anorektal terdiri dari berbagai macam bentuk. Beberapa bentuk tersebut diantaranya adalah:
Congenital anal stenosis
Anal membrane atresia.
Anal agenesis
Rectal atresia
Rectoperitoneal fistula
Rectovaginal fistula
(Nelson, )

Klasifikasi defek menurut Alberto Penan
Laki-Laki
Perempuan
Detek Komplek
Defek letak rendah
Fistel kutangus, stenosis anal
Membran anal dan malformasi bucket bulbar
Fistel rektouretra bulbar
Fistel rektouretra prostatika
Fistel rektovesika
Anus imferforata tanpa fistel
Atresia dan stenosis rektum
Fistel kutangus (perianal)
Fistel teostibular
Fistel vagina
Anus imferforata tanpa fistel
Atresia dan stenosis rektum
Kloaka persisten
Kelompok
Defek heterogen lain
(Mansjoer, 2000)


3.Etiologi
Penyebab dari penyakit ini adalah:
1.Malformasi Anus
Gangguan pertumbuhan dan fusi serta pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
2.Malformasi Rektum
Gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital serta gangguan perkembangan septum anorektal yang memisahkannya (terjadi fistel).
(Mansjoer, 2000)

4.Manifestasi Klinis
Malformasi anorektal mempunyai manifestasi klinis sebagai berikut:
1.Perut kembung, sedang muntah timbul kemudian.
2.Cairan muntah mula-mula hijau kemudian bercampur tinja.
3.Kejang usus.
4.bising usus meningkat.
5.Distensi abdomen.
6.Keluar mekonium baik dari vagina atau bersama urine (tergantung letak fistel).
7.Mekonium keluar pada anus seperti pasta gigi.
(Betz, 2002 )


5.Patofisiologi
Kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi dan pembentukan anus dari tonjolan embrionik. Begitu juga pada malformasi rektum berawal dari gangguan pemisahan kloaka jadi rektum dan sinus urogenital dan perkembangan septum unorektal yang memisahkannya. Kedua malforamsi membentuk fistel-fistel yang menghambat pengeluaran mekonium kolon sehingga terjadi obstruksi usus yang nampak gambaran perut kembung, distensi abdomen, muntah dengan cairan mula-mula berwarna hijau kemudian bercampur tinja. Distensi abdomen yang terjadi menyebabkan penekanan intra abdomen ke torakal sehingga klien mengalami gangguan pola nafas.
Kegagalan pengeluaran mekonium menimbulkan refluks kolon sehingga muntah-muntah didukung ketidaknormalan anus serta rektum. Hal ini mengganggu pola eliminasi feses. Malformasi harus segera ditangani yang pertama untuk tindakan sementara dengan kolostomi baru kemudian dilakukan pembedahan definitif sesuai dengan letak defeknya. Pasca pembedahan pasien tirah baring lama-kelamaan akan menyebabkan intoleransi aktivitas. Adanya perlukaan pada jaringan akan menimbulkan nyeri serta resiko tinggi infeksi karena luka merupakan part entry kuman. Selain itu juga menimbulkan kerusakan integritas kulit. Anestesi yang diberikan juga mempengaruhi penurunan fungsi organ, misal penurunan sistem pernafasan, penurunan fungsi jantung dan penurunan peristaltik usus.
(Nelson, 1999)
6.Pemeriksaan Penunjang
1.Pemeriksaan colok dubur, pada atresia rektum jari tidak masuk lebih 1–2 cm.
2.Protosigmoidoskopi, anoskopi, radiografi lateral terbalik.
3.Urogram intravena; sistourethrogram: dilakukan pada waktu miksi harus dilakukan karena seringnya malformasi traktuf urinarius menyertai anomali ini.
4.Rontgenologis kolumna vertebralis: untuk mengetahui kelainan yang menyertai yaitu anomali vertebra.
5.Pemeriksaan inspeksi dan palpasi daerah perineum secara dini.
6.Ultrasound: dapat digunakan untuk menentukan letak kantong rektal.
7.Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rektal dengan cara menusukkan jarum tersebut sambil melakukan aspirasi; jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm, defek itu disebut defek tingkat tinggi.
8.Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien dengan penyakit maformasi anorektal ada dua macam yaitu dengan tindakan sementara dan tindakan definitive, sebagai berikut:
1.Tindakan Sementara
a.Tindakan spontan tergantung tinggi rendahnya atresia. Anak segera dipuasakan untuk pembedahan. Bila diduga ada malformasi rektum, bayi harus segera dikirim ke ahli bedah yaitu dilakukan kolostomi transversum akut. Ada 2 tempat yang kolostomi yang dianjurkan dipakai pada neonatus dan bayi yaitu transversokolostomi dan sigmoidkolostomi. Khusus untuk defek tipe kloaka pada perempuan selain kolostomi juga dilakukan vaginostomi dan diversi urine jika perlu (setelah anak lebih besar 1 – 1,5 tahun).

b.Pada malformasi anus laki-laki tipe covered anal dilakukan insisi/ diiris hanya pada garis hitam di kulitnya, kemudian diperlebar perlahan-lahan dan apabila ada lubang dilanjutkan dengan kelingkin yang dilapisi vaselin didorong masuk sampai teraba/ menonjol ujung rektum kemudian ujung rektum di insisi tanpa dijahit. Pada defek letak rendah langsung dilakukan terapi definitif yaitu anorektoplasti posterior sagital (PSARP), sisanya dilakukan kolostomi sementara.

2.Tindakan Definitif
a.Pembedahan definitif ini dimaksudkan untuk menghilangkan obstruksi dan mempertahankan kontak kontinensi. Untuk malformasi rectum setelah bayi berumur 6 bulan dilakukan ano-rekto-vagina-uretroplasti posterior sagital (PSAVURP).

b.Pada malformasi anus tindakan koreksi lebih lanjut tergantung pada defek ;
1)Pada malformasi anus yang tidak ada fistel tetapi tampak ada anal dimple dilakukan insisi dianal dimple melalui tengah sfingter ani eksternus.
2)Jika fistel ano uretralis terapi anal dimple tidak boleh langsung ditembus tapi lebih dulu fistel ano uretralis tersbeut diikat. Bila tidak bisa kasus dianggap dan diperlakukan sebagai kasus malformasi rektum.
c.Pada agenesis anorektal pada kelainana tinggi setelah bayi berat badan mencapai 10 kg tersebut harus diperbaiki dengan operasi sakroperineal atau abdomino perineal dimana kolon distal ditarik ke aneterior ke muskulus puborektalis dan dijahitkan ke perinuem. Pada anomali ini, sfingter ani eksternus tidak memadai dan tidak ada sfingter internus, sehingga kontinensi fekal tergantung pada fungsi muskulus pubo rektalis. Sebagai hasil dari anak dengan kelainan tinggi tanpa muskulatur atau muskolatur yang buruk, kontinensia mungkin didapat secara lambat tetapi dengan pelatihan intensif dengan menggunakan otot yang ada, pengencangan otot kemudian dengan levator plasti, nasihat tentang diet dan memelihara "neorektum" tetap kosong, kemajuan dapat dicapai.
(Wong, 1999)

9.Komplikasi.
1.Asidosis hiperkloremia
2.Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan
3.Kerusakan uretra ( akibat prosedur bedah )
4.Komplikasi jangka panjang :
a.Eversi mukosa anal
b.Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis)
c.Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasinya sigmoid)
d.Masalah atau keterlambatan yg berhubungan dg toilet training
e.Inkontinensia (akibat stenosis anal atau impaksi)
f.Prolaps mukosa anorektal (menyebabkan inkontinensia dan rembesan persisten)
g.Fistula kambuhan (karena tegangan diarea pembedahan dan infeksi )
(Betz, 2002 )

10. Konsep Keperawatan
1.Pengkajian
a.Pengkajian Pre Operatif
1)Pemeriksaan fisik :
a)Daerah perineum
Inspeksi dengan cermat daerah perineum secara dini
untuk mencari hubungan fistula ke kulit
untuk menemukan muara anus ektopik atau stenatik
untuk memperbaiki bentuk luar jangka panjang
untuk melihat adanya mekonium (apakah keluar dari vagina atau keluar bersama urine ?)
untuk melihat adanya garis hitam yang menentukan letak fistel dan terapi segeranya.
b)Abdomen
Memeriksa tanda-tanda obstruksi usus (perut kembung)
Amati adanya distensi abdomen
Ukur lingkar abdomen
Dengarkan bising usus ( 4 koadran)
Perkusi abdomen
Palpasi abdomen (mungkin kejang usus)
c)Kaji hidrasi dan status nutrisi
Timbang berat badan tiap hari
Amati muntah proyektif (karakteristik muntah)
d)TTV
Ukur suhu badan (umumnya terjadi peningkatan)
Ukur frekuensi pernafasan (terjadinya takipnea atau dispnea)
Ukur nadi (terjadinya takikardia)
e)Observasi manifestasi malformasi anorektal
2)Pemeriksaan colok dubur pada anus yang tampak normal, tapi bila tidak dapat masuk lebih 1 – 2 cm berarti terjadi atresia rektum.
3)Pemeriksaan dengan kateter untuk membedakan fistel uretra dan fistel vesika.
b.Pengkajian Post Operatif
1)Kaji integritas kulit meliput tekstur, warna, suhu kulit.
2)Amati tanda-tanda infeksi
3)Amati pola eliminasi dan keadaan umum pasien.

2.Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan
a.Pra Operatif
1)Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan muntah.
Tujuan : Klien menunjukan keseimbangan cairan elektrolit setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, dengan kriteria hasil : keseimbangan jumlah input dan out put, turgor kulit elastis, TTV normal (suhu:36,5 – 37,RR: 35x/menit),tidak didapatkan distensi abdomen.
Intervensi :
a)Ukur jumlah Input –Output cairan.
Rasionalisasi : Mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan.
b)Inspeksi turgor kulit.
Rasionalisasi : Pada keadaan dejidrasi turgor kulit tidak elastis.
c)Ukur tanda- tanda vital.
Rasionalisasi : Keadaan dehidrasi diidentifikasi dg adanya perubahan TTV :takikardi,hipotensi,peningkatan suhu.
d)Inspeksi adanya distensi abdomen.
Rasionalisasi : Peningkatan tekanan abdomen ditandai dengan adanya distenai abdomen
e)Kolaborasi berikan cairan IV.
Rasionalisasi : Menganti cairan dan elektrolit yang hilang.

2)Gangguan pola nafas berhubungan dengan penekanan torakal sekunder terhadap distensi abdomen.
Tujuan : Pola nafas normal/ terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam dengan kriteria hasil: RR normal (30 – 60 x/ menit), reguler, tidak menggunakan otot bantu pernafasan, tidak ditujukkannya penggunaan cuping hidung dalam bernafas.
Intervensi :
a)Posisikan anak pada posisi yang nyaman dengan penggunaan bantal 30°.
Rasionalisasi : untuk efisiensi ventilasi maksimum
b)Catat TTV dan irama jantung
Rasionalisasi : takikardi, disritmia dan perubahan tekanan dapat menunjukkan efek hipoksia sistemik pada fungsi jantung.
c)Berikan O2 sesuai dengan kebutuhan
Rasionalisasi : dapat memperbaiki dan mencegah hipoksia
d)Auskultasi bunyi nafas catat adanya bunyi nafas adventisius seperti : krekel,mengi .
Rasionalisasi : biasanya bunyi nafas menurun.
e)Inspeksi adanya sianosis.
Rasionalisasi : Mengindikasikan adanya kekurangan oksigen ke jaringan.

3)Ansietas pada orang tua berhubungan dengan tindakan / prosedur pembedahan.
Tujuan : Orang tua mengungkapkan penerimaan tindakan/prosedur (ansietas berkurang), setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam, dengan kriteria hasil keluarga mampu mengungkapkan rasa sakit,penerimaan atas pembedahan,dan memahami prosedur pembedahan.
Intervensi :
a)Identifikasi ketidaktahuan.
Rasionalisasi : Dengan memberikan kejelasan dari keluarga agar sedikit tenang.
b)Peningkatan support terhadap keluarga “tindakan atau prosdur tsb tindakan tepat”.
Rasionalisasi : Dengan support akan menurunkan cemas.

c)Menjelaskan tentang prosedur tepat waktu.
Rasionalisasi : Meningkatkan rasa optimis dengan pembedahan.
b.Post Operasi
1)Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kapasitas paru sekunder terhadap pemberian anestesi.
Tujuan : Pernafasan kembali efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam dengan kriteria hasil: klien tidak mengalami sianosis, tidak ada hipoksia, respirasi rate normal (30 – 60 x/ menit) dan reguler. Tidak ada suara ngorok.
Intervensi :
a)Catat kecepatan/ kedalaman pernafasan, auskultasi bunyi nafas, amati adanya pucat, sianosis.
Rasionalisasi : pernafasan mengorok/ pengaruh anestesi menurunkan ventilasi dan dapat mengakibatkan hipoksia.
b)Posisikan klien dengan meninggikan kepala 30°.
Rasionalisasi : Dapat mendorong ekspansi paru optimal dan meminimalkan tekanan isi ke abdomen pada rongga thorak.
c)Ubah posisi secara periodik
Rasionalisasi : Meningkatkan pengisian udara seluruh segmen paru.
d)Berikan O2 sesuai kebutuhan
Rasionalisasi : Memaksimalkan sediaan O2 untuk pertukaran gas dan penurunan kerja pernafasan.

2)Nyeri berhubungan dengan vasodilatasi pembuluh darah sekunder terhadap pembedahan.
Tujuan : Nyeri hilang atau berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam. Dengan kriteria hasil: klien tidak cemas dan tegang lagi, klien tidak menangis terus, ekspresi wajah wajar (tidak menahan nyeri).
Intervensi :
a)Kaji dan catat adanya peningkatan nyeri
Rasionalisasi : Digunakan untuk mengetahui keadaan nyeri klien untuk menentukan tindakan pengurangan nyeri.
b)Hindari palpasi area pembedahan kecuali jika diperlukan
Rasionalisasi : Agar terhindar dari peningkatan rasa nyeri pasca operasi.
c)Berikan lingkungan yang nyaman dan tenang.
Rasionalisasi : Berkurangnya stimulus nyeri.
d)Kolaborasi pemberian analgesi sesuai ketentuan dan pantau keefektifannya.
Rasionalisasi : Digunakan untuk farmakoterapi untuk nyeri.

3)Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan perlukaan jaringan pada pembedahan.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam. Dengan kriteria hasil: suhu normal; 36,5°C – 37°C, tidak ada tanda-tanda radang (merah, bengkak, panas area luka), balutan kering dan bersih.
Intervensi :
a)Ukur suhu tubuh setiap 4 jam
Rasionalisasi : Peningkatan suhu tubuh menunjukkan terjadinya infeksi sistemik.
b)Gunakan teknik septik dan aseptik medik
Rasionalisasi : Mencegah terjadinya infeksi dan sepsis.
c)Lakukan perawatan luka dengan hati-hati agar luka tetap bersih
Rasionalisasi : Untuk meminimalkan resiko infeksi.
d)Ganti balutan luka setelah 3 hari post operasi secara "kering-kering" dengan cara; luka dialas betadin dan tutup dengan kasa kering.
Rasionalisasi : Dengan balutan dapat meningkatkankelembaban dan memperlambat penyembuhan luka.
e) Kolaborasi pemberian antimikrobial/ antibiotik sesuai kebutuhan.
Rasionalisasi : Digunakan untuk pencegahan infeksi secara sistemik.

4)Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penumpukan asam laktat sekunder terhadap tirah baring.
Tujuan : Toleransi aktivitas meningkat setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam dengan kriteria hasil; setelah beraktivitas klien tidak mengalami kelelahan dibuktikan dengan (RR: 30 – 60 x/ menit, Nadi: 120 – 140x/ menit).
Intervensi :
a)Periksa tingkat toleransi fisik anak
Rasionalisasi : Dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kelelahan anak.
b)Beri periode istirahat dan tidur yang sesuai dengan kondisinya
Rasionalisasi : Istirahat digunakan untuk menghemat energi dan kelelahan dapat berkurang.
c)Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman
Rasionalisasi : Lingkungan yang tenang dapat meningkatkan rentang istirahat klien untuk penghematan energi.

5)Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya perlukaan jaringan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 x 24 jam tidak didapat kerusakan integritas kulit, dengan kriteria hasil : meningkatnya persembuhan luka,bebas tanda-tanda infeksi.
Intervensi :
a)Inspeksi warna ukuran luka.
Rasionalisasi : Kemerahan bengkak mengidentifikasi adanya kerusakan integritas kulit.
b)Bersihkan permukaan kulit dg menggunakan hydrogen/air dg sabun lunak/petrolatum.
Rasionalisasi : Petrolatum membersihkan feses yang menempel.
c)Gunakan balutan teknik aseptik.
Rasionalisasi : Menurunkan iritasi kulit.

6)Perubahan terhadap pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan melemahnya kemampuan fisik dan proses hospitalisasi.
Tujuan : tumbang tercapai sesuai usia setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam dengan kriteria hasil : pasien memperlihatkan peningkatan karakteristik fisik,perkembangan sensoris, perilaku sosialisasi, perkembangan kognitif.
Intervensi :
a)Kaji tingkat perkembangan anak dalam seluruh area fungsi .
Rasionalisasi : penting untuk mengetahui apakah anak sudah mencapai tumbangnya.
b) Ajarkan orang tua tentang tugas perkembngan normal anak sesuai kelompok usianya.
Rasionalisasi : keluarga (ibu ) menjadi perawat anak selama dirumah, diharapkan mampu memantau perkembangan anak setiap waktu.
c)Berikan kesempatan bagi seorang anak sakit untuk memenuhi tugas perkambangan sesuai kelompok usia.
Rasionalisasi: Mencegah terjadinya regresi karena proses shospitalisasi.
(Doengoes, 1999)

Penatalakanaan yang bisa dilakukan adalah :
1.Tindakan sementara tergantung jenis kelainan
a.Pada malforamsi anus dilakukan insisi pada tipe covered anal.
b.Pada malformasi rektum dilakukan kolostimi segera.
c.Pada defek letak rendah dilakukan PSAVRP baru sisanya dilakukan kolostomi sementara.
2.Tindakan definitif
a.Malformasi bila sudah berumur 6 bulan dilakukan pembedahan PSAVURP.
b.Malformasi anus tanpa fistel dengan insisi dianal dimple.
c.Agenesis anorektal kelainan tinggi dan bayi sudah 20 pon diperbaiki dengan operasi sakroperineal atau abdominoperineal.
d.Bila kelainan tinggi muskulatur tidak ada atau buruk dapat dilakukan dulu pelatihan intensif dengan menggunakan otot-otot yang ada, pengencangan otot kemudian dengan levatorplasti, dan nasihat tentang diet serta memelhara "neorektum tetap kosong".

Masalah keperawatan yang muncul :
1.Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kapasitas paru sekunder pemberian anestesi.
2.Nyeri berhubungan dengan vasodilatasi pembuluh darah sekunder terhadap pembedahan.
3.Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya perlukaan jaringan pada pembedahan.
4.Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya perlukaan jaringan.
5.Ansietas orang tua berhubungan dengan tindakan / prosedur pembedahan.
6.Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan melemahnya kemampuan fisik dan proses hospitalisasi .



DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. EGC, Jakarta.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius, Jakarta.
Ngastiyah. 1995. Perawatan Anak Sakit. EGC, Jakarta.
Nelson, 1999. Ilmu Kesehatan Anak. EGC, Jakarta.
Silbernagl, Stefan. Atlas Berwarna & Teks Fisiologi. 2000. Hipokrates, Jakarta.
Syaifuddin, 1997. Anatomi Fisiologi. EGC, Jakarta.
Syamsudin, R. Song. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta.
Wong, Dona L. 2003. Pedoman Keperawatan Pediatrik. EGC, Jakarta.

Tidak ada komentar: