Senin, 15 September 2008

Asuhan Keperawatan Anak dengan Icterus

KONSEP TEORITIS HIPERBILIRUBINEMIA/ICTERUS

Pengertian :
1.Keadaan meningginya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskular sehingga kulit,konjungtiva,mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning (Ngastiyah;198).
2.Keadaan klinis dimana ditemukannya warna kuning pada kulit dan mukosa yang disebabkan oleh pigmen empedu (Evelin pierce;435).

Insidentil :
1.Biasa ditemukan pada bayi baru lahir  minggu I
2.Kejadian ikterus  60 % bayi cukup bulan & 80 %  kurang bulan
Perhatian utama  ikterus pada 24 jam pertama & bila kadar bilirubin  > 5mg/dl dalam 24 jam.
3.Keadaan yang menunjukkan ikterus patologik :
Proses hemolisis darah
Infeksi berat
Ikterus > 1 mgg serta bilirubin diketiak > 1 mgg / dl.
Ikterus pada neonatorum dapat dibagi dua :
1.Ikterus fisiologi
Ikterus muncul pada hari ke 2 atau ke 3, dan tampak jjelas pada hari 5-6 dan menghilang hari ke 10. Bayi tampak biasa , minum baik , BB naik biasa. Kadar bilirubin pada bayi aterm tidak lebih dari 12 mg /dl, pada BBLR 10 mg/dl, dan akan hilang pada hari ke-14.

Penyebab ikterus fisiologik diantaranya karena kekurang protein Y dan , ensim glukoronil transferase yang cukup jumlahnya.
2.Ikterus Patologis
a.Ikterus yang muncul dalam 24 jam kehidupan ,, serum bilirubin total lebih dari 12 mg/dl.
b.Peningkatan bilirubin 5 mg persen atau lebih dalam 24 jam
c.Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg/dl pada bayi premature atau 12 mg/dl pada bayi aterm.
d.Ikterus yang disertai proses hemolisis.
e.Ikterus menetap setelah bayi berumur 10 hari pada bayi aterm dan 14 hari pada BBLR.

Keadaan yang menyebabkan ikterus patologis adalah
1.Penyakit hemolitik
2.Kelainan sel darah merah
3.Hemolisis : hematoma, Polisitemia, perdarahan karena trauma jalan lahir.
4.Infeksi
5.Kelainan metabolic : hipoglikemia, galaktosemia
6.Obat—obatan yang menggantikan ikatan bilirubin dengan albumin seperti : sulfonaamida, salisilat, sodium bensoat, gentamisin,
7.Pirau enterohepatik yang meninggi : obstruksi usus letak tinggi, hirschsprung, stenosis pylorus, mekonium illeus.








Etiologi :
1.Hemolisis akibat inkompatibilitas golongan darah A,B,O atau defisiensi enzim G6PD.
2.Perdarahan tertutup.
3.Inkompatibilitas golongan darah Rh.
4.Infeksi  utama terjadi pada penderita sepsis & gastroenteritis.
5.Hipoksia / anoksia.
6.Dehidrasi.
7.Asidosis.
8.Polisitemia.
9.Physiologik ( perkembangan ) / faktor prematur
10.Menyusui / ASI.
11.Kelebihan produksi bilirubin (seperti penyakit hemolytik, kerusakan biochemikal).
12.Gangguan kapasitas sekresi konyungasi bilirubin dalam hati (seperti : defisiensi Enzyme, Obisitas, duktus empedu).
13.Beberapa penyakit (seperti : hypotiroidism, galaktosemia, diabetes ibu / bayi).
14.Faktor genetik.
GAMBARAN KLINIK
Pada permulaan tidak jelas,yang tampak mata berputar-putar
Letargi (lemas)
Kejang
Tidak mau menghisap
Tonus otot meninggi,leher kaku dan opistotonus
Bisa tuli,gangguan bicara dan retardasi mental
Warna kulit kuning
Warna urine,feces lebih gelap
Reflek moro dan sucking (-)
Pulmonary: apneu

F. PENGKAJIAN SECARA KLINIK
1.Peninggian bilirubin indirek: kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga
2.Gangguan obstruksi empedu: warna kulit agak kehijauan
3.Tampak lemah
4.Nutrisi : Nafsu minum berkurang.
5.Keadaan lain yang mungkin menyertai : Ikterus, Anemia, Pembesaran Lien dan Hepar.
6.Warna urine dan feses lebih gelap.
7.Neurologi : Letargi, Hipotonia, Tangisan melengking, Tremor, Reflek moro, dan sucking (-), Iritability, kejang.
8.Pulmonary : Apnu



G. Komplikasi
Terjadi kernicterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak dengan gambaran klinik :
1.Letargi/lemas
2.Kejang
3.tak mau menghisap
4.tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus
5.Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat terjadi spasme otot, epistotonus, kejang
6.dapat tuli, gangguan bicara, retardasi mental.

H. Pemeriksaan penunjang :

1.Bilirubin serum , indirek dan indirek : peningkatan bilirubin diatas 10 mg/dl pada bayi aterm atau 12 mg/dl padda BBLR
2.Golongan darah ibu dan bayi, serologi darah tali pusat.
3.Hb dan HCT : Hb kurang dari 14 gr persen dan HCT kurang dari 42 persen menandakan adanya proses hemolitik. Hb dari tali pusat kurang dari 12 g/dl indikasi diperlukaannya transfusi tukar.
4.Protein total.
5.Leukosit darah untuk memantau adanya infeksi
6. BJ urine
7.comb test [ indirek dan direk ]


I. Penatalaksanaan
Tujuan Utama : Mengendalikan kadar billirubin serum tidak mencapai nilai  kernikterus/ensefalopati biliaris.
Dengan cara merangsang terbentuk glukoronil transferase  pemberian obat luminal.

Untuk menghambat metabolisme billirubin:
Pemberian substrat.
Pemberian kolesteramin (mengurangi sirkulasi enterohepatik).


TERAPI SINAR
Teori Terbaru  Terapi sinar
Isomerisasi Billirubin :
mengubah senyawa 4Z, 15Z-billirubin  senyawa bentuk 4Z, 15E Billirubin (merupakan bentuk isomer)  mudah larut dalam plasma, mudah diekskresi oleh hati  empedu. Cairan empedi  usus  peristaltik usus meningkat  billirubin keluar.
Terapi sinar tidak efektif bila terjadi gangguan peristaltik, seperti : obstruklsi usus/bayi dengan enteritis.
Terapi sinar dilakukan pada bayi dengan kadar billirubin indirek > 10 mg/dl dan bayi denga proses hemolisis  ditandai dengan ikterus pada hari I.
Terapi sinar dilakukan sebelum dan sesudah transfusi tukar.
Terapi sinar terdiri dari 10 buah lampu neon, paralel. Dipasang dalam kotak yang berventilasi, energi cahaya yang optimal (350-470 nanometer), dengan jarak  50 cm. Dibagian bawah kotak lampu dipasang fleksiglas biru (untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran).
Saat penyinaran  usahakan bagian tubuh terpapar seluas-luasnya, posisi bayi diubah setiap 1 – 2 jam (menyeluruh).
Kedua mata dan gonad bayi ditutup dengan bahan yang dapat memantulkan cahaya.
Kadar billirubin dan Hb bayi dipantau secara berkala.
Dihentikan bila kadar billirubin < 10 mg/dl.
Lamanya penyinaran biasa/tidak > 100 jam.
Penghentian/peninjauan kembali dilakukan bila ditemukan efek samping :
Enteritis.
Hypertermi.
Dehidrasi.
Kelainan kulit (ruam).
Gangguan minum.
Letargi.
Iritabilitas.

TRANSFUSI TUKAR
TUJUAN
Menghindari terjadinya ensefalopati biliaris  billirubin indirek  sawar darah otak.
Mengganti eritrosit yang telah terhemolisis.
Membuang antibodi yang menimbulkan hemolisis.

DILAKUKAN BILA:
Kadar billirubin indirek > 20 mg/dl.
Kadar billirubin tali pusat > 4 mg/dl.
Kadar Hb < 10 g/dl.
Bila terjadi peningkatan billirubin yang cepat 1 mg/dl tiap jam.
Transfusi darah dipertimbangkan bila pada bayi menderita :
Asfiksia.
Sindrom gawat nafas.
Asidosis metabolik.
Kelainan SSP.
BB < 1500 gram.

Billirubin mudah melalui sawar darah otak

Bila billirubin disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah Rh  menggunakan golongan darah O Rh (-).
Pada inkompatabilitas golongan darah ABO darah yang dipakai golongan darah “O” Rh (+).
Jika tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi  golongan darah sama dengan bayi.
Jika tidak memungkinkan golongan darah “O” yang kompatibel dengan serum ibu.
Jika tidak ada, golongan darah ‘O’ dengan titer A atau anti B < 1/256.
Jumlah darah yang dipakai antara 140 – 180 ml/kg BB.
Transfusi sebaknya melalui pembuluh darah umbilikus.
Alat-alat yang dipersiapkan:
Kateter tali pusat.
Larutan NaCl – Heparin (4000 U Heparin dalam 500 ml cairan NaCl)  untuk mencegah terjadinya infeksi dan timbulnya bekuan darah.
Kran 3 cabang dan jarum.


PENATALAKSANAANNYA
Terlebih dahulu mengambil 10 – 20 ml darah bayi  dikirim ke Lab untuk pemeriksaan serologik, biakan, G6PD dan Billirubin.
Transfusi dilakukan dengan menyuntikkan darah secara perlahan sejumlah darah yang dikeluarkan.
Dilakukan bergantian  pengeluaran dan penyuntikkan sebanyak 10 – 20 ml setiap kali  untuk menghindari bekuan darah dan hypoxemia.
Setiap 100 ml transfusi dilakukan pembilasan dengan larutan Na.Cl heparin & pemberian 1 ml kalsium glukomat.
Transfusi tukar dapat dilakukan berulang jika bilirubin indirek pasca tranfusi > 20 mg / dl.


Perhatikan kemungkinan komplikasi transfusi tukar seperti :
Asidosis.
Bradikardi.
Aritmia.
Henti jantung.

Komplikasi pasca transfusi :
Hiperkalemia.
Hipernatremia.
Hipoglikemia.


J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Mayer’s 1995
1. Resiko Terjadi Injuri (Internal) b/d peningkatan serum bilirubin.
2. Resiko terjadi defisit volume cairan b/d Fototerapi.


1.Resiko terjadi Injuri (Internal) b/d peningkatan serum bilirubin.
Tujuan : Meminimalkan Resiko Hiperbilirubin dan Komplikasi.
Intervensi :
1.Kolaborasi Fototerapi sesuai advis dan Protkol RS.
R/ Fototerapi dapat menurunkan bilirubin sampaidikeluarkan melalui urine dan feses. Masing-masing RS mempunyai protokol dan aturan untuk indikasi fototerapi.
2.Catat waktu pemberian fototerapi.
R/ Tingkat bilirubin biasanya akan mulai turun 2-3 hari pengobatan dan akan menunjukkan penurunan yang tetap.
3. tempatkan bayi secara telanjang (kecuali popok) dibawah lampu dengan plexigus untuk melindungi bayi dari sinar UV.
/R Penyinaran akan efektif dalam keadaan terbuka.
4. Tutup kedua mata bayi saat penyinaan.
/R Cahaya yang tinggi dapat menyebabkan trauma pada retina dan kornea.
5. Monitor hantaran energi.
R/ adanya hubungan antara energi dan kecukupan dalam menurunkan tingkat bilirubin.
6. Cek tingkat bilirubin setiap 4 – 8 jam.
R/ Penyinaran dihentikan setelah dijamin dengan test darah. (Hasil kesalahan juga rendah). Monitor melalui kulit tidak akurat.

2. Resiko terjadi defisit volume cairan b/d Fototerapi.
Tujuan : Memenuhi kebutuhan cairan / minum bayi dan mencegah dehidrasi.
Intervensi :
1.Pertahankan jadwal minum.
R/ minum sangat penting untuk pemenuhan kebutuhan cairan dan nutrisi.
2. Pantau efek samping foroterapi.
R/ fototerapi dapat menyebabkan kehilangan cairan, hipotermi.
3. Monitor suhu tiap 2 – 3 jam.
R/ Peningkatan temperatur dapat menimbulkan panas dan dehidrasi.
4. Monitor BB. bayi setiap 8 jam.
R/ Penurunan BB. dapat disebabkan oleh kehilangan cairan dari evaporasi dan diare.
5. Pantau kebutuhan cairan dan ganti cairan menurut penurunan BB, input dan output.
R/ Fototerapi dapat meningkatkan kehilangan cairan tanpa disadari.



Daftar Pustaka :

Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.

H. Markum : ” Ilmu Kesehatan Anak”. Buku I, Jakarta, FKUI, 1991.

Patofisiologi. Evelin.pierce, jilid 1.EGC

Tidak ada komentar: